Senin, 31 Mei 2010

Makna Shalawat Nabi

Fadhilah dan Faedah Bershalawat

Fadilah (keutamaan) bershalawat atas nabi sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran bahwa Allah Swt. dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat atas Nabi Muhammad Saw., seperti terlihat dalam firman-Nya: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersha-lawat untuk Nabi... ." (QS.33:56). Penggalan ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt. melimpahkan rahmat bagi Nabi Muhammad Saw. dan para malaikat memintakan ampunan bagi Nabi Muhammad Saw. Karena itu, pada lanjutan ayat tersebut, Allah Swt. menyuruh orang-orang mukmin supaya bershalawat dan memberi shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.: "...Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."

Untuk mengetahui keutamaan apakah yang diperoleh orang-orang yang bershalawat, baiklah kita perhatikan maksud-maksud hadis yang di bawah ini, bersabda Nabi Saw :

مـن صلى على مـرة واحـدة صـلى الله عـليه بها عـشـرا

Artinya: "Barangsiapa bershalawat untukku sekali, niscaya Allah bershalawat untuknya sepuluh kali." (HR. Muslim dari Abû Hurairah).

إن لله تعالى مـلائكـة سـياحـين فى الأرض يبلغـونني عـن أمـتى الـسـلام

Artinya: "Bahwasanya bagi Allah Tuhan semesta alam ada beberapa malaikat yang diperintah berjalan di muka bumi untuk memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka me-nyampaikan kepadaku (sabda Nabi) akan segala salam yang diucapkan oleh ummatku." (HR. Ahmad. Al-Nasâ'i dan Al-Darimî).

مـن صلى عـلى حين يصبح عـشـرا ويمسى عـشرا أدركـته شفاعتى يوم القـيـامة

Artinya: "Barangsiapa bershalawat untukku dipagi hari sepuluh kali dan di petang hari sepuluh kali, mendapatlah ia syafa'atku pada hari qiamat." (HR. Al-Thabrânî)

اولى الـنـاس بى يوم الـقـيامة أكـثرهـم على صـلاة

Artinya: "Manusia yang paling utama terhadap diriku pada hari qiamat, ialah manusia yang paling banyak bershalawat untukku." (HR. Al-Turmudzî).

إنـه جـائنى جـبريل عليه السلام فقال اما تـرضى يا مـحمد أن لا يصلى عـليك أحـد مـن أمـتك صـلاة واحـدة إلا صـليت عليه عـشـرا ولا يـسلم عـليك أحـد مـن أمـتك إلا سـلمت عـليه عـشـرا

Artinya: "Jibril telah datang kepadaku dan berkata: 'Tidakkah engkau ridha (merasa puas) wahai Muhammad, bahwasanya tak seorang pun dari umatmu bershalawat untukmu satu kali, kecuali aku akan bershalawat untuknya sebanyak sepuluh kali? Dan tak seorang pun dari umatmu mengucapkan salam kepadamu, kecuali aku akan meng-ucapkan salam kepadanya sebanyak sepuluh kali?! (HR. Al-Nasâ'i dan Ibn Hibban, dari Abû Thalhah).

Sabda Rasulullah Saw. yang Artinya: "Barangsiapa -ketika mendengar azan dan iqamat mengucapkan: "Allâhumma Rabba Hâdzih al-Da'wât al-Tâmmah, wa al-Shalât al-Qâ'imati, shalli 'alâ muhammadin 'abdika wa Rasûlika, wa A'tihi al-Washîlata wa al-Fadhîlata, wa al-Darâjata al-Râfi'ata, wa al-Syafâ'ata yawm al-Qiyâmati (Artinya: "Ya Allah, ya Tuhannya seruan yang sempurna ini, serta shalat yang segera didirikan ini, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad, hamba dan rasul-Mu. Dan berilah ia wasilah dan fadilah serta derajat yang amat tinggi dan (izin untuk) bersyafaat pada hari Kiamat)..., maka (bagi siapa yang mengucapkan doa tersebut) niscaya akan beroleh syafaatku kelak."

Al-Ghazali didalam kitabnya Ihyâ 'Ulûm al-Dîn menceritakan seorang dari mereka (seorang dari kalangan ulama, sufi, ahli ibadah dsb.) pernah berkata: "Sementara aku menulis (catatan tentang) beberapa hadis, aku selalu mengiringinya dengan menuliskan shalawat untuk Nabi Saw., tanpa melengkapinya dengan salam untuk beliau. Malamnya aku berjumpa dengan beliau dalam mimpi, dan beliau berkata kepadaku: 'Tidakkah sebaiknya engkau melengkapi shalawatmu untukku dalam bukumu itu?' Maka sejak itu, tak pernah aku mengucapkan shalawat kecuali melengkapinya dengan ucapan salam untuk beliau."

Diriwayatkan dari Abû Al-Hasan, katanya: "Aku pernah berjumpa dengan Nabi Saw. dalam mimpi, lalu kukatakan kepada beliau: 'Ya Rasulullah, apa kiranya ganjaran bagi Al-Syâfi'i, ketika ia bershalawat untukmu dalam kitabnya: Al-Risâlah dengan ungkapan: 'Semoga Allah bershalawat atas Muhammad setiap kali ia disebut oleh para penyebut, dan setiap kali sebutan tentangnya dilalaikan oleh para pelalai?' Maka Nabi Saw. menjawab: 'Karena ucapannya itu, ia dibebaskan dari keharusan menghadapi perhitungan (hisab pada hari Kiamat).'"

Dalam kitab yang sama (Ihya) Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa sesungguhnya berlipatganda-nya pahala shalawat atas Nabi Saw. adalah karena shalawat itu bukan hanya mengandung satu kebaikan saja, melainkan mengandung banyak kebaikan, sebab di dalamnya ter-cakup :

1. Pembaharuan iman kepada Allah.

  1. Pembaharuan iman kepada Rasul.
  2. Pengagungan terhadap Rasul.
  3. Dengan inayah Allah, memohon kemuliaan baginya.
  4. Pembaharuan iman kepada Hari Akhir dan berbagai kemuliaan.
  5. Dzikrullah.
  6. Menyebut orang-orang yang shalih.
  7. Menampakkan kasih sayang kepada mereka.
  8. Bersungguh-sungguh dan tadharru' dalam berdoa.
  9. Pengakuan bahwa seluruh urusan itu berada dalam kekuasaan Allah

Masih banyak keutamaan-keutamaan bagi orang-orang yang melakukan atau membaca shalawat atas Nabi. Namun penyusun hanya menukil beberapa hadis dan qawl (perkataan) ulama.

Adapun faedah atau manfaat bershalawat atas Nabi Muhammad Saw. sebagaimana dijelaskan hadis-hadis di atas terdapat sembilan belas perkara, yakni:

1. Memperoleh curahan rahmat dan kebajikan dari pada Allah Swt.;

  1. Menghasilkan kebaikan, meninggikan derajat dan menghapuskan kejahatan;
  2. Memperoleh pengakuan kesempurnaan iman, apabila kita membacanya 100 Kali;
  3. Menjauhkan kerugian, penyesalan dan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang shalih;
  4. Mendekatkan diri kepada Allah;
  5. Memperoleh pahala seperti pahala memerdekakan budak;
  6. Menghasilkan syafa'at;
  7. Memperoleh penyertaan dari Malaikat rahmah;
  8. Memperoleh hubungan yang rapat dengan Nabi; Seseorang yang bershashalawat dan bersalam kepada Nabi, shalawat dan salamnya itu disampaikan kepada Nabi;
  9. Membuka kesempatan berbicara dengan Nabi Saw.;
  10. Menghilangkan kesusahan, kegundahan dan meluaskan rezeki;
  11. Melapangkan dada. Apabila seseorang membaca shalawat 100 kali, maka Allah akan melapangkan dadanya dan memberikan penerangan yang sinar seminarnya ke dalam hatinya;
  12. Menghapuskan dosa. Apabila seseorang membaca dengan tetap tiga kali setiap hari, maka Allah akan menghapuskan dosanya;
  13. Menggantikan shadaqah bagi orang yang tidak sanggup bershadaqah;
  14. Melipatgandakan pahala yang diperoleh. Apabila seseorang bershalawat di hari Jumat, maka Tuhan akan memberikan kepadanya pahala yang berlipat ganda;
  15. Mendekatkan kedudukan kepada Rasulullah di hari qiamat. Menyebabkan doa bisa diterima oleh Allah.
  16. Menyebabkan doa bisa diterima oleh Allah;
  17. Melepaskan diri dari kebingungan di hari qiamat. Apabila seseorang meninggalkan shalawat kepada Nabi, maka ia akan menghadapi kebingungan dan kekacauan di hari mahsyar;

Memenuhi satu hak Nabi, atau menunaikan suatu tugas ibadat yang diwajibkan atas kita Apabila sese-orang tidak bershalawat, berartilah ia enggan memenuhi suatu haq Nabi yang wajib ia penuhi.

Dasar Hukum dan Dalil-dalil Shalawat

Dibawah ini adalah dalil-dalil tentang shalawat baik dari Al-Quran maupun Al-Hadis Nabi Saw., serta para ulama

AL-QUR'AN

Surat Al-Ahzâb ayat 43:

هـو الذى يـصلى عليكم ومـلائكـته ليخرجكم من الـظلـمات إلى النور وكان بالمؤمـنين رحـيمـا

Artinya: "Dia-lah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang".

Surah Al-Ahzâb ayat 56:

إن الله وملائـكته يصـلون على النبى يا أيها الذين أمـنوا صـلوا عـليه وسـلـموا تـسـليـما

Artinya: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya".

Maksud Allah bershalawat kepada Nabi Saw. adalah dengan memberi rahmat-Nya; bershalawat malaikat kepada Nabi Saw. dengan memintakan ampunan; sedangkan bershalawatnya orang-orang mu'min kepada Nabi Saw. dengan berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan per-kataan "Allâhumma Shalli 'alâ Muhammad"

Adapun salam kepada Nabi Saw. adalah dengan mengucapkan "Assalâmu Alayka Ayyuh al-Nabiyy."

Al-Hadits

صـلوا عـلى فإن صـلاتكـم عـلى زكـاة لـكـم

Artinya: "Bershalawatlah kamu kepadaku, karena sha-lawatmu itu menjadi zakat (penghening jiwa pembersih dosa) untukmu." (HR. IbnMurdaweh)

سمعت رسول الله صـلـعـم يقـول لا تجعـلوا بيوتكم قـبورا ولا تجـعلـوا قـبرى عـيـدا وصلوا على فإن صلاتكـم تـبلغـنى حـيث كــنتم

Artinya: "Saya mendengar Nabi Saw. Bersabda janganlah kamu menjadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu menjadikan kuburanku sebagai per-sidangan hari raya. Bershalawatlah kepadaku, karena shalawatmu sampai kepadaku dimana saja kamu berada." (HR. Al-Nasâ'i, Abû Dâud dan dishahihkan oleh Al-Nawâwî).

Diterangkan oleh Abû Dzar Al-Harawî, bahwa perintah shalawat ini terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Ada yang berkata pada malam Isra' dan ada pula yang berkata dalam bulan Sya'ban. Dan oleh karena itulah bulan Sya'ban dinamai dengan "Syahrush Shalâti" karena dalam bulan itulah turunnya ayat 56, Surah ke-33 Al-Ahzâb.

Arti Shalawat

SHALAWAT bentuk jamak dari kata salla atau salat yang berarti: doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah.

Arti bershalawat dapat dilihat dari pelakunya. Jika shalawat itu datangnya dari Allah Swt. berarti memberi rahmat kepada makhluk. Shalawat dari malaikat berarti memberikan ampunan. Sedangkan shalawat dari orang-orang mukmin berarti suatu doa agar Allah Swt. memberi rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad Saw. dan keluarganya.

Shalawat juga berarti doa, baik untuk diri sendiri, orang banyak atau kepentingan bersama. Sedangkan shalawat sebagai ibadah ialah pernyataan hamba atas ketundukannya kepada Allah Swt., serta mengharapkan pahala dari-Nya, sebagaimana yang dijanjikan Nabi Muhammad Saw., bahwa orang yang bershalawat kepadanya akan mendapat pahala yang besar, baik shalawat itu dalam bentuk tulisan maupun lisan (ucapan).

Hukum Bershalawat

Para ulama berbeda pendapat tentang perintah yang dikandung oleh ayat "Shallû 'Alayhi wa Sallimû Taslîmân = bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah kamu kepadanya," apakah untuk sunnat apakah untuk wajib.
Kemudian apakah shalawat itu fardlu 'ain ataukah fardlu kifayah. Kemudian apakah membaca shalawat itu setiap kita mendengar orang menyebut namanya ataukah tidak.

Asy-Syâfi'i berpendapat bahwa bershalawat di dalam duduk akhir di dalam sembahyang, hukumnya fardlu. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalawat itu adalah sunnat. Kata Al-Syakhâwî : "Pendapat yang kami pegangi ialah wajibnya kita membaca shalawat dalam duduk yang akhir dan cukup sekali saja dibacakan di dalam suatu majelis yang di dalam majelis itu berulang kali disebutkan nama Rasul.

Al-Hâfizh Ibn Hajar Al-Asqalânî telah menjelaskan tentang madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mengenai hukum bershalawat dalam kitabnya "Fath al-Bârî", sebagaimana di bawah ini. Para ulama yang kenamaan, mempunyai sepuluh macam madzhab (pendirian) dalam masalah bershalawat kepada Nabi Saw.:

Pertama, madzhab Ibnu Jarîr Al-Thabarî. Beliau berpendapat, bahwa bershalawat kepada Nabi, adalah suatu pekerjaan yang disukai saja. Kedua, madzhab Ibnu Qashshar. Beliau berpen-dapat, bahwa bershalawat kepada Nabi suatu ibadat yang diwajibkan. Hanya tidak ditentukan qadar banyaknya. Jadi apabila seseorang telah bershalawat, biarpun sekali saja. Terlepaslah ia dari kewajiban. Ketiga, madzhab Abû Bakar Al-Râzî dan Ibnu Hazmin. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa bershalawat itu wajib dalam seumur hidup hanya sekali. Baik dilakukan dalam sembahyang, maupun di luarnya. Sama hukumnya dengan mengucapkan kalimat tauhid. Selain dari ucapan yang sekali itu hukumnya sunnat. Keempat, madzhab Al-Imâm Al-Syâfi'i. Imam yang besar ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibacakan dalam tasyahhud yang akhir, yaitu antara tasyahhud dengan salam.

Kelima, madzhab Al-Imâm Asy-Sya'bî dan Ishâq. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib hukumnya dalam kedua tasyahud, awal dan akhir. Keenam, madzhab Abû Ja'far Al-Baqîr. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibaca di dalam sembahyang. Cuma beliau tidak menentukan tempatnya. Jadi, boleh di dalam tasyahhud awal dan boleh pula di dalam tasyahhud akhir. Ketujuh, madzhab Abû Bakar Ibnu Bakir. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib kita membacanya walaupun tidak ditentukan bilangannya. Kedelapan, madzhab Al-Thahawî dan segolongan ulama Hanafiyah. Al-Thahawî berpendapat bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendengar orang menyebut nama Muhammad. Paham ini di ikuti oleh Al-Hulaimî dan oleh segolongan ulama Syâfi'iyyah. Kesembilan, madzhab Al-Zamakhsyarî. Al-Zamakhsyarî berpendapat, bahwa shalawat itu dimustikan pada tiap-tiap majelis. Apabila kita duduk dalam suatu majelis, wajiblah atas kita membaca Shalawat kepada Nabi, satu kali. Kesepuluh, madzhab yang dihikayatkan oleh Al-Zamkhsyarî dari sebagian ulama Madzhab ini berpendapat bahwa bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendoa.
Untuk mengetahui manakah paham yang harus dipegangi dalam soal ini, baiklah kita perhatikan apa yang telah diuraikan oleh Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam kitabnya Jalâul Afhâm, katanya : "Telah bermufakat semua ulama Islam atas wajib bershalawat kepada Nabi, walaupun mereka berselisih tentang wajibnya di dalam sembahyang. Segolongan ulama tidak mewajibkan bershalawat di dalam sembahyang. Di antaranya ialah, Al-Thahawî, Al-Qâdhî al-'Iyâd dan Al-Khaththabî. Demikianlah pendapat para fuqaha selain dari Al-Syâfi'i."

Dengan uraian yang panjang Al-Imâm Ibn Al-Qayyim membantah paham yang tidak mewajibkan shalawat kepada Nabi Saw. di dalam sembahyang dan menguatkan paham Al-Syâfi'i yang mewajibkannya.

Al-Imâm Ibn Al-Qayyim berkata: "Tidaklah jauh dari kebenaran apabila kita menetapkan bahwa shalawat kepada Nabi itu wajib juga dalam tasyahhud yang pertama. Cuma hendaklah shalawat dalam tasyahhud yang pertama, diringkaskan. Yakni dibaca yang pendek. Maka apabila kita renungkan faham-faham yang telah tersebut itu, nyatalah bahwa bershalawat kepada Nabi itu disuruh, dituntut, istimewa dalam sembahyang dan ketika mendengar orang menyebut nama Nabi Muhammad Saw.
Berkata Al-Faqîh Ibn Hajar Al-Haitamî dalam Al-Zawâjir: "Tidak bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. ketika orang menyebut namanya, adalah merupakan dosa besar yang keenampuluh."

الا أخـبركـم بأبخـل الناس ؟ قـالـوا بلى يا رسـول الله قال من ذكـرت عـنده فـلم يصلى فذلك أبخـل الـنـاس

Artinya: "Apakah tidak lebih baik saya khabarkan ke-padamu tentang orang yang dipandang sebagai manusia yang sekikir-kikirnya? Menjawab sahabat : Baik benar, ya Rasulullah. Maka Nabi-pun bersabda : Orang yang disebut namaku dihadapannya, maka ia tidak bershalawat ke-padaku, itulah manusia yang sekikir-kikirnya." (HR. Al-Turmudzû dari 'Ali).

Kemudian hadis Nabi yang lain

أيـما قوم جـلـسـوا فأطالـوا الجـلـوس ثم تفـرقوا قـبل أن يذكـروا الله تعـلى ولايصـلوا على الـنـبيه كـانت عليهم ترة من الله إن شـا ء الله عــذبهم وإن شـاء

Artinya: "Kaum mana saja yang duduk dalam suatu majelis dan melamakan duduknya dalam majelis itu, kemudian mereka bubar dengan tidak menyebut nama Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi, niscaya mereka menghadapi kekurangan dari Allah. Jika Allah meng-hendaki, Allah akan mengadzab mereka dan jika Allah menghendaki, Allah akan memberi ampunan kepada mereka. " (HR Al-Turmudzî).

By. H.A. Luthfi Samroni, S.Ag

Kamis, 27 Mei 2010

3 Guru Sufi

Ajaran Kearifan Tiga Guru Sufi Jawa

Sosok ulama atau kiai lazim dikenal karena suri teladannya, yaitu bagaimana praktek syariat itu menjadi laku (amal) sehari-hari. Di samping itu, sosok kiai pun bisa menempati ruang khusus di hati umat karena pernyataan-pernyataan, wasiat-wasiat atau wejangan- wejangan mereka kepada orang terdekat dan para santri serta masyarakat. Menyadur dari Buku Tiga Guru Sufi Tanah Jawa yang berisi paparan “wejangan ruhani” atau pesan-pesan spiritual dari tiga sosok kiai tanah jawa; Syaikh Muslih Bin Abdur Rahman al-Maraqy (Mranggen Demak), Syaikh Romli Tamim (Rejoso Jombang) dan Syaikh Dimyathi Bin Muhammad Amin al-Bantany (Cidahu Banten). Pesan-pesan spiritual dari tiga tokoh yang menjadi maha guru (mursyid) di tanah jawa ini menyimpan semacam doktrin sufistik Ala Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandsiyah dan Thariqah Syadziliyah.

Pertama, wejangan ruhani dari Abuya Dimyathi. Beliau adalah ulama kharismatik dari Banten, wejangan spiritualnya mampu menjadi peneduh terhadap dahaga umat. Wejangan-wejangan Abuya memiliki kualitas tinggi sebagai obat bagi jiwa yang sakit, oase bagi jiwa yang gersang sekaligus Nur ilahiyah yang menguasai kerajaan hati, dengan berjuta-juta malaikat berjaga disana, yang bisa mengusir gelap (zhulumat) dan setan serta bala tentara (junudus syaithon) dari hati manusia.

Dalam Wejangannya, menjadi mursyid thariqah tidak asal begitu saja, melainkan melalui syarat tertentu. Setidaknya, ada tiga syarat menjadi seorang Mursyid :

1. Seorang mursyid ketika menjadi pembimbing spiritual dan penunjuk jalan haruslah matang dalam menguasai ilmu para ulama.

2. Seorang mursyid juga harus memahami memahami hikmah dari orang-orang yang sudah Ma’rifat Billah.

3. Seorang mursyid menguasai pula taktik dan strategi yang diterapkan penguasa (raja atau pemimpin politik).

Tiga kriteria ini pertama kali sebenarnya telah dicetuskan oleh pemimpin Thariqah Qadiriyah, yaitu syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hasil ijtihad Syaikh Abdul Qadir Jailani itu dicatat oleh Syaikh Abi Ja’far al- Barzanji dalam kitab Lujainid Dany. Karena nilai universalnya, menurut penulis berlaku di setiap gerakan tarekat hingga sekarang. Criteria ini mengharuskan ulama yang benar-benar alim, ahli ibadah dan hikmah serta giat membimbing dan mendekat pada umat.

Secara khusus, Abuya Dimyathi juga memiliki risalah yang diperuntukkan untuk umat dalam menekuni Thariqat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Di antaranya risalah ashl al-qadar yang berisi tentang nama-nama sahabat ahli perang badar beserta ajaran kearifannya. Juga kitab Rasn Al-Qasar yang menjelaskan tentang pentingnya Hidzib Nashr. Juga kitab hadiyyah al-jalaliyyah yang menjelaskan ihwal sanad, karakteristik Thariqah Syadziliyah, dan kepantasan untuk para salik dalam bertaqarrub kepada Allah.

Kedua berisi tentang wejangan ruhani Syaikh Romli Tamim, Rejoso, Jombang, ulama kharismatik yang mennadi mursyid Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Salah satu buah karya Syaikh Romli adalah Tsamnrah al-Fikriyah yang berisi tentang doktrin sufistik bagi ahli thareqat dan tasawuf. Dalam wejangannya, Syaikh Romli mengatakan bahwa jalan untuk wushul (ma’rifat billah) bagi para santri Thariqah adalah dengan cara serius melaksanakan tiga hal berikut :

1. Mengembangkan Dzikir Khafi (dzikir samar) atau dzikir dalam hati. Caranya dengan menghadirkan hati secara total senantiasa ingat Allah dalam keadaan apapun.

2. Muraqabah, yaitu senantiasa berusaha mengejar dan mendekat kepada Allah. Dalam wukuf di hadrah ilahiyah, santri thareqah mesti senantiasa berharap dengan prasangka baik (Khusnudzon) terhadap anugerah yang diberikan Allah.

3. Khidmah (pengabdian), yaitu setia menjadi pelayan bagi guru yang telah memberikan Talqin Dzikir, kaifiyah, dan Jam’iyyah serta juga bersedia menyediakan diri untuk menjadi pelayan bagi santri-santri yang lain. Saling berlomba-lomba dalam kebaikan sekaligus berusaha bermanfaat bagi sesama. Tiga jalan ini dilakukan secara ikhlas dan istiuqomah dengan berserah total kepada Allah.

Ketiga, wejangan ruhani Syaikh Muslih Mranggen. Beliau dikenal sebagai mursyid Thareqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah yang memiliki kedalaman ilmu dan kejernihan hati. Salah satu karyanya yang cukup populer adalah Futuhat Rabbaniyah yang menguraikan doktrin sufistik menuju tersingkapnya Ma’rifat Ilahiyah. Karya lainnya yang juga tak kalah populer adalah an-Nur al-Burhani yang merupakan syarah (penjelasan kitab Lujain ad Dani) karya Syaikh Abi Ja’far al-Brzanji yang meriwayatkan biografi Sulthan Al-Auliya Syaikh Abdul Qadir Jailany.

Dalam Futuhat ar-Rabbaniyah, Syaikh Muslih secara detail menjelaskan tentang tata cara santri dalam menjalankan thareqah, terutama doktrin yang ia sebut sebagai “ Mabadi Ilmi Ath Thariqah yang membahas landasan thariqah qadiriyah wa naqsyabandiyah. Salah satu untaian hikmahnya adalah berfiqh harus dibarengi dengan tasawuf. “Barang siapa yang semata berpegang pada formalitas fiqh, tanpa praktek tasawuf, maka seorang itu bisa terjatuh pada perilaku fasiq. Dan barang siapa mencoba-coba bertasawuf tanpa tuntunan syara’ maka ia bisa jatuh dalam kafir zindiq. Dan barang siapa bertasawuf dan menjalankan tuntunan syara’(fiqh) maka ia akan sampai pada hakekat dan kesejatian”.

By. H. Luthfi Samroni, S.Ag

Rabu, 19 Mei 2010

Peran Nazhir dalam pemberdayaan zakat wakaf

PERAN NAZHIR DAN PENGELOLA ZAKAT

DALAM PEMBERDAYAAN ZAKAT WAKAF

PENDAHULUAN

Aktifitas yang dilakukan lembaga wakaf dan zakat selama ini masih bersifat konvensional yaitu mengembangkan perekonomian guna membiayai kelangsungan roda dan program lembaga. Namun demikian, hal ini sudah patut kita berikan apresiasi yang setinggi-tingginya karena dalam situasi apapun, sebagai bagian dari sub kultur masyarakat kedua lembaga tersebut tetap hidup dengan kokoh walaupun dengan apa adanya. Kemampuan kyai, ustadz, santri dan masyarakat sekitar menjadikan perhatian tersendiri untuk meneguhkan atau setidaknya meningkatkan kompetensi lembaga zakat dan wakaf dalam visinya.

Masalah dana memang menjadi masalah dan tantangan besar bagi pengembangan sebagian lembaga wakaf dan zakat di Indonesia, padahal potensi yang ada dalam komunitas lembaga tersebut sebenarnya sangat besar.[1] Banyak faktor yang berkontribusi terhadap terciptanya kondisi ini. Hal ini bisa dilihat jika kita menyodorkan ide seputar penggalangan dana/daya (fundrising) lembaga wakaf dan zakat. Para pengelola umumnya enggan menanggapi hal ini dan tidak seantusias ketika bicara soal program dan pendayaguna program lembaga. Sebagian menyatakan bahwa program fundrising itu terlalu susah untuk diwujudkan, sebagian lainnya mengatakan enggan karena tidak mengetahui cara melakukannya.

Dari berbagai fakta di atas, perlu adanya upaya serius untuk mendorong berkembangnya program mobilisasi sumber daya khususnya dari SDM, untuk mendukung program dan aktifitas yang dilakukan oleh lembaga zakat dan wakaf, dan salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah sharing antar lembaga zakat dan wakaf.

Dalam istilah sekarang kita sering mendengar istilah Filantropi, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philos dan Antrophos yang berarti love of people, mencintai sesama manusia.[2] Dilihat dari dua kata tersebut dengan upaya manusia untuk menunjukkan rasa cinta kasihnya kepada sesama melalui berbagai upaya yang dilakukan. Namun pada perkembangannya, filantropi lebih dikaitkan dengan proses sharing private resources untuk public benefit. Private resources tidak selalu dimaknai dengan uang, tapi bentuk sumber daya manusia, seperti barang, pikiran dan tenaga. Dari penjabaran tentang definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan filantropi terkandung makna humanity, solidarity, non profit orientation dan voluntarism.[3]

Kegiatan filantropi ini belum banyak dipahami secara komprehensif, salah satu model filantropi yang ditawarkan dalam Islam adalah instrumen wakaf. Padahal keberadaan wakaf, khususnya wakaf tanah telah dilakukan masyarakat semenjak munculnya komunitas-komunitas muslim. Lembaga wakaf muncul bersamaan dengan lahirnya masyarakat muslim, sebagai sebuah komunitas umumnya lembaga ini membutuhkan fasilitas-fasilitas peribadatan dan pendidikan untuk menjamin kelangsungannya sebagaimana cikal bakalnya (seperti pondok pesantren, madrasah, dan masjid). Fasilitas-fasilitas tersebut dapat terpenuhi dengan cara wakaf, baik berupa tanah, bahan bangunan, maupun sumbangan tenaga.

PERAN NADZIR DAN PENGELOLA ZAKAT

Wakaf merupakan salah satu institusi filantropi Islam yang bila diberdayakan dapat menunjang agenda keadilan sosial serta menyelamatkan nasib puluhan juta rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan atau untuk peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Jumlah dan luas wakaf yang telah tersebut di atas, jika dikelola dengan baik akan dapat menghilangkan ketergantungan kepada pihak lain. Kontribusi wakaf sebenarnya memiliki peran yang sangat signifikan dalam menciptakan sumber daya manusia (Human Resources) yang berkualitas dan kompetitif. Sebagai perbandingan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, Universitas Zaituniyyah di Tunis dan ribuan madaris Imam Lisesi di Turki, sanggup memberi beasiswa dalam kurun yang amat panjang.

Dalam rangka mengoptimalkan peran wakaf di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang membutuhkan peran kelembagaan secara konkrit, maka yang paling berperan terhadap berhasilnya tidaknya pemanfaatan harta wakaf adalah di tangan nazhir.

Dalam Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Bagian Ketiga Pasal 6 (enam), Nazhir merupakan salah satu bagian dari unsur wakaf, baik berupa perseorangan, organisasi, maupun badan hukum (pasal 9). Nazhir bertugas melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (pasal 11).

Dalam melaksanakan tugasnya, nazhir dapat mengelola harta benda wakaf dengan imbalan dari hasil bersih yang besarnya tidak lebih dari 10 % (pasal 12), dengan beberapa persyaratan antara lain : Jika nazhir itu perseorangan, maka dia adalah Warga Negara Indonesia (WNI), Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum.

Apabila nazhir itu berbentuk organisasi maka pengurus organisasi tersebut harus memenuhi syarat sebagai nazhir perseorangan, dan organisasinya bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Demikian juga nazhir yang berbentuk badan hukum, adalah yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (pasal 10)

Saat ini sudah saatnya bagi kita untuk memberdayakan wakaf baik bergerak maupun tidak bergerak agar dapat meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta meningkatkan perkembangan Islam di Indonesia. Pemberdayaan wakaf yang dilakukan oleh nazhir harus sesuai dengan manajemen organisasi yang baik dan terarah. Dalam hal ini organisasi diartikan sebagai suatu kesatuan susunan yang terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama, yang dapat dicapai secara lebih efektif melalui tindakan yang dilakukan secara bersama, di mana dalam melakukan tindakan itu ada pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab bagi tiap-tiap personil yang terlibat di dalamnya untuk mencapai tujuan organisasi /lembaga wakaf.

Oleh karena itu agar tujuan perwakafan tercapai, peran pengelola / nazhir sebagai suatu kesatuan organisasi dapat mengurus dan merawat harta wakaf dengan baik, maka penting adanya pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab. Untuk menumbuhkembangkan harta wakaf agar menjadi produktif dan berdayaguna, maka diperlukan para pengelola yang amanah, jujur, adil, memiliki etos kerja tinggi dan tentunya profesional, sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing.

Dalam pemberdayaan tanah wakaf, nazhir perseorangan, organisasi maupun badan hukum dapat menerapkan prinsip manajemen dengan menjunjung tinggi kaidah al maslahah (kepentingan umum) sesuai ajaran Islam, sehingga tanah wakaf dapat dikelola secara profesional. Secara sederhana, nazhir merupakan seorang manajer yang perlu melakukan usaha serius dan langkah terarah dalam mengambil kebijaksanaan berdasarkan program kerja yang telah disepakati, sehingga kesan asal-asalan yang selama ini menghinggap pada nazhir ini dapat ditepis. Jika kita menengok pengalaman negara Mesir dalam pengelolaan wakaf di antaranya adalah aspek manajemen dan pengalamannya dalam mengembangkan usaha-usaha besar dan mapan, sehingga dapat diidentifikasikan dan diteliti mengenai bidang yang sesuai dengan pengelolaan wakaf dan dapat diambil manfaatnya.

Terbentuknya forum nazhir di tiap Kankemenag kabupaten/kota merupakan faktor yang sangat sistemik sebagai regulator dan motivator lembaga-lembaga wakaf di tiap masing-masing. Salah satu upaya pemberdayaan wakaf produktif, Nazhir dapat melakukan terobosan dengan menjalin kerja sama atau kemitraan dengan pihak ketiga atau investor, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pola kemitraan tersebut tentu harus tetap memperhatikan seluruh ketentuan yang ada terkait dengan peraturan perundang-undangan wakaf. Hal tersebut dimaksudkan agar kekayaan wakaf dapat terjaga dengan baik dan dapat dikembangkan sesuai dengan tujuan dan peruntukan wakaf.

Obyek pemberdayaan tanah wakaf biasanya adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah gedung-gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar, dan acara lain. Selain itu dikembangkan pula pemberdayaan wakaf produktif pada bidang pertanian, pendirian usaha-usaha kecil seperti toko-toko ritel, koperasi, penggilingan padi, usaha bengkel dan lain sebagainya yang hasilnya untuk kepentingan pengembangan di bidang pendidikan, pondok pesantren.

Dalam konteks inilah, sangat penting apabila mengaitkan aktifitas pengembangan wakaf dengan istitusi lembaga wakaf. Peran nadzir di sebuah pesantren misalnya, sangat dibutuhkan. Seperti diketahui pesantren adalah lembaga sosial pendidikan masyarakat muslim yang mempunyai pola dan karakteristik pengelolaan yang khas dan lebih mengedepankan kemandirian. Pesantren sebagai lembaga sosial juga mempunyai visi yang mulia dalam rangka mencerahkan kehidupan keagamaan masyarakat luas dan mengembangkan kepribadian moderat untuk memberikan kerahmatan bagi lingkungannya.

Fundrising (menggalang sumber dana/daya) wakaf sendiri dimaknai sebagai kegiatan menghimpun dana sumber daya lainnya berbentuk wakaf dari masyarakat (perorangan, lembaga, perusahaan, maupun pemerintah) yang akan digunakan untuk membiayai program dan kegiatan operasional pesantren, madrasah, dan lain sebagainya sehingga akan tercapai visinya.

Strategi Fundrising

Strategi fundrising merupakan alat analisis untuk mengenali sumber pendanaan yang potensial, mengevaluasi kemampuan organisasi dalam memobilisasi sumber daya wakaf/zakat.

Pertama, identifikasi calon wakif/muzakki merupakan satu tahapan yang penting dalam penggalangan dana wakaf/zakat. Tentukan profil dari potensial wakif /muzakki yang akan digalangnya baik dari wakif/muzakki lama maupun yang baru.

Kedua, menentukan metode /cara yang tepat dalam menentukan keberhasilan dalam menghimpun daya/dana wakaf/zakat., seperti mengirim brosur, gift/souvenir, mengirim ucapan terima kasih atas dukungan selama ini, baik melalui telpon atau pelibatan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan.

a. Menggalang potensi dana

Metode atau teknik penggalangan dana wakaf/zakat yang dilakukan dengan menggalang atau memanfaatkan dana wakaf/zakat yang ada dalam masyarakat baik dari individu, lembaga/organisasi/perusahaan maupun dari pemerintah baik dalam maupun luar negeri, artinya menghasilkan wakif/muzakki baru atau yang masih lama. Nazir tinggal menggalang dengan menggunakan metode fundrising, seperti pendekatan personal, proposal, surat langsung, media komunikasi, kegiatan khusus atau yang lainnya. Prinsip fundrising adalah buktikan kemajuan orang akan menyokong, bukan sebaliknya minta sokongan untuk kemajuan.

b. Menciptakan dana baru

Salah satu strategi yang dijalankan nazir dalam fundrising adalah menciptakan sumber dana baru atau pendapatan usaha dari harta wakaf (earned income). Hal ini dilakukan dengan membangun unit usaha ekonomi produktif dari harta wakaf yang dapat menghasilkan pendapatan. Pengembangan pendapatan dilakukan melalui penjualan produk, pelayanan jasa profesional, penyewaan sarana, dan prasarana fasilitas, pengembangan dana abadi dan investasi dari harta-harta wakaf yang ada.

c. Kapitalisasi Sumber Daya Non Financial

Maksudnya adalah upaya penggalangan dana yang dilakukan dengan menggalang sumber daya non dana atau in-kind dalam bentuk barang, jasa atau keahlian dan tenaga. Tenaga umumnya dikelola dalam bentuk program kerelawanan atau volunter penggalanagan sumber wakaf. Dengan kondisi semacam ini, lembaga dengan sekian banyaknya stakeholders termasuk alumni dan masyarakat sekitar, sehingga perlu adanya strategi yang berbeda yang inovatif, yang tidak berorientasi pada wakaf dalam bentuk uang maupun harta benda bergerak.

Ketiga, dan merupakan bagian terakhir dari findrising adalah monitoring dan evaluasi, yaitu memantau bagaimana proses dari kegiatan findrising ini dilakukan sekaligus menilai efektifitasannya. Tahapan ini dilakukan untuk memastikan apakah ada masalah dalam pelaksanaannya, seberapa efektif upaya yang dilakukan, dan seberapa besar pencapaiannya terhadap target yang telah ditentukan.

Akhirnya, pengelolaan wakaf secara profesional ditandai dengan pemberdayaan potensi masyarakat secara produktif, yang meliputi beberapa aspek, diantaranya aspek manajemen, Nazhir Resources Development, pola kemitraan usaha, bahkan sampai kepada bentuk benda wakaf bergerak, seperti uang, saham dan surat berharga lainnya. Di samping pelibatan stakeholder tersebut, dukungan political will pemerintah tetap menjadi faktor utama.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam mengelola wakaf /zakat secara profesional, ada tiga filosofi dasar yang harus dijadikan acuan bagi nazhir/amil untuk memberdayakan secara produktif.

Pertama, pola manajemennya terbingkai dalam proyek yang terintegrasi, bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Dengan bingkai ini, dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya.

Kedua, asas kesejahteraan nazhir/amil. Image nazhir asal-asal (lillahi ta’ala) telah sekian lama menempel pada kerja wakaf ini, sehingga capaiannya pun asal-asalan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita memposisikan nazhir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik, dan memberikan kesejahteraan bukan saja di akhirat namun juga di dunia.

Ketiga, asas transparansi dan akuntabilitas, di mana badan wakaf/zakat dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan proses pengelolaan dana setiap tahun kepada publik dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya.

Semoga dengan semangat pemberdayaan wakaf produktif, para nazhir dapat melakukan akselerasi peningkatan kesejahteraan umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Djunaidi., Thobieb Al-Asyhar, Menuju Wakaf Produktif, Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Mitra Abadi Press, Jakarta, 2005.
Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, Jakarta, 2008
Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Pedoman Pembinaan Nazhir, Jakarta, 2008
Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kumpulan Hasil Seminar Perwakafan, Jakarta, 2004

A. Halim, Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren, dalam A. Halim et al., Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005)

Kim Klein, Fundrising for Special Change, Fourth Edition (Oakland California : Chardon Press, 2001)

Hamid Abidin, dkk., Membangun Kemandirian Perempuan (Jakarta:Piramedia, 2009)

 

[1] A. Halim, Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren, dalam A. Halim et al., Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 222

[2] Kim Klein, Fundrising for Special Change, Fourth Edition (Oakland California : Chardon Press, 2001), hlm. 5

[3] Hamid Abidin, dkk., Membangun Kemandirian Perempuan (Jakarta:Piramedia, 2009), hlm. 89