Rabu, 19 Mei 2010

Peran Nazhir dalam pemberdayaan zakat wakaf

PERAN NAZHIR DAN PENGELOLA ZAKAT

DALAM PEMBERDAYAAN ZAKAT WAKAF

PENDAHULUAN

Aktifitas yang dilakukan lembaga wakaf dan zakat selama ini masih bersifat konvensional yaitu mengembangkan perekonomian guna membiayai kelangsungan roda dan program lembaga. Namun demikian, hal ini sudah patut kita berikan apresiasi yang setinggi-tingginya karena dalam situasi apapun, sebagai bagian dari sub kultur masyarakat kedua lembaga tersebut tetap hidup dengan kokoh walaupun dengan apa adanya. Kemampuan kyai, ustadz, santri dan masyarakat sekitar menjadikan perhatian tersendiri untuk meneguhkan atau setidaknya meningkatkan kompetensi lembaga zakat dan wakaf dalam visinya.

Masalah dana memang menjadi masalah dan tantangan besar bagi pengembangan sebagian lembaga wakaf dan zakat di Indonesia, padahal potensi yang ada dalam komunitas lembaga tersebut sebenarnya sangat besar.[1] Banyak faktor yang berkontribusi terhadap terciptanya kondisi ini. Hal ini bisa dilihat jika kita menyodorkan ide seputar penggalangan dana/daya (fundrising) lembaga wakaf dan zakat. Para pengelola umumnya enggan menanggapi hal ini dan tidak seantusias ketika bicara soal program dan pendayaguna program lembaga. Sebagian menyatakan bahwa program fundrising itu terlalu susah untuk diwujudkan, sebagian lainnya mengatakan enggan karena tidak mengetahui cara melakukannya.

Dari berbagai fakta di atas, perlu adanya upaya serius untuk mendorong berkembangnya program mobilisasi sumber daya khususnya dari SDM, untuk mendukung program dan aktifitas yang dilakukan oleh lembaga zakat dan wakaf, dan salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah sharing antar lembaga zakat dan wakaf.

Dalam istilah sekarang kita sering mendengar istilah Filantropi, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philos dan Antrophos yang berarti love of people, mencintai sesama manusia.[2] Dilihat dari dua kata tersebut dengan upaya manusia untuk menunjukkan rasa cinta kasihnya kepada sesama melalui berbagai upaya yang dilakukan. Namun pada perkembangannya, filantropi lebih dikaitkan dengan proses sharing private resources untuk public benefit. Private resources tidak selalu dimaknai dengan uang, tapi bentuk sumber daya manusia, seperti barang, pikiran dan tenaga. Dari penjabaran tentang definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan filantropi terkandung makna humanity, solidarity, non profit orientation dan voluntarism.[3]

Kegiatan filantropi ini belum banyak dipahami secara komprehensif, salah satu model filantropi yang ditawarkan dalam Islam adalah instrumen wakaf. Padahal keberadaan wakaf, khususnya wakaf tanah telah dilakukan masyarakat semenjak munculnya komunitas-komunitas muslim. Lembaga wakaf muncul bersamaan dengan lahirnya masyarakat muslim, sebagai sebuah komunitas umumnya lembaga ini membutuhkan fasilitas-fasilitas peribadatan dan pendidikan untuk menjamin kelangsungannya sebagaimana cikal bakalnya (seperti pondok pesantren, madrasah, dan masjid). Fasilitas-fasilitas tersebut dapat terpenuhi dengan cara wakaf, baik berupa tanah, bahan bangunan, maupun sumbangan tenaga.

PERAN NADZIR DAN PENGELOLA ZAKAT

Wakaf merupakan salah satu institusi filantropi Islam yang bila diberdayakan dapat menunjang agenda keadilan sosial serta menyelamatkan nasib puluhan juta rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan atau untuk peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Jumlah dan luas wakaf yang telah tersebut di atas, jika dikelola dengan baik akan dapat menghilangkan ketergantungan kepada pihak lain. Kontribusi wakaf sebenarnya memiliki peran yang sangat signifikan dalam menciptakan sumber daya manusia (Human Resources) yang berkualitas dan kompetitif. Sebagai perbandingan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, Universitas Zaituniyyah di Tunis dan ribuan madaris Imam Lisesi di Turki, sanggup memberi beasiswa dalam kurun yang amat panjang.

Dalam rangka mengoptimalkan peran wakaf di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang membutuhkan peran kelembagaan secara konkrit, maka yang paling berperan terhadap berhasilnya tidaknya pemanfaatan harta wakaf adalah di tangan nazhir.

Dalam Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Bagian Ketiga Pasal 6 (enam), Nazhir merupakan salah satu bagian dari unsur wakaf, baik berupa perseorangan, organisasi, maupun badan hukum (pasal 9). Nazhir bertugas melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (pasal 11).

Dalam melaksanakan tugasnya, nazhir dapat mengelola harta benda wakaf dengan imbalan dari hasil bersih yang besarnya tidak lebih dari 10 % (pasal 12), dengan beberapa persyaratan antara lain : Jika nazhir itu perseorangan, maka dia adalah Warga Negara Indonesia (WNI), Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum.

Apabila nazhir itu berbentuk organisasi maka pengurus organisasi tersebut harus memenuhi syarat sebagai nazhir perseorangan, dan organisasinya bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Demikian juga nazhir yang berbentuk badan hukum, adalah yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (pasal 10)

Saat ini sudah saatnya bagi kita untuk memberdayakan wakaf baik bergerak maupun tidak bergerak agar dapat meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta meningkatkan perkembangan Islam di Indonesia. Pemberdayaan wakaf yang dilakukan oleh nazhir harus sesuai dengan manajemen organisasi yang baik dan terarah. Dalam hal ini organisasi diartikan sebagai suatu kesatuan susunan yang terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama, yang dapat dicapai secara lebih efektif melalui tindakan yang dilakukan secara bersama, di mana dalam melakukan tindakan itu ada pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab bagi tiap-tiap personil yang terlibat di dalamnya untuk mencapai tujuan organisasi /lembaga wakaf.

Oleh karena itu agar tujuan perwakafan tercapai, peran pengelola / nazhir sebagai suatu kesatuan organisasi dapat mengurus dan merawat harta wakaf dengan baik, maka penting adanya pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab. Untuk menumbuhkembangkan harta wakaf agar menjadi produktif dan berdayaguna, maka diperlukan para pengelola yang amanah, jujur, adil, memiliki etos kerja tinggi dan tentunya profesional, sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing.

Dalam pemberdayaan tanah wakaf, nazhir perseorangan, organisasi maupun badan hukum dapat menerapkan prinsip manajemen dengan menjunjung tinggi kaidah al maslahah (kepentingan umum) sesuai ajaran Islam, sehingga tanah wakaf dapat dikelola secara profesional. Secara sederhana, nazhir merupakan seorang manajer yang perlu melakukan usaha serius dan langkah terarah dalam mengambil kebijaksanaan berdasarkan program kerja yang telah disepakati, sehingga kesan asal-asalan yang selama ini menghinggap pada nazhir ini dapat ditepis. Jika kita menengok pengalaman negara Mesir dalam pengelolaan wakaf di antaranya adalah aspek manajemen dan pengalamannya dalam mengembangkan usaha-usaha besar dan mapan, sehingga dapat diidentifikasikan dan diteliti mengenai bidang yang sesuai dengan pengelolaan wakaf dan dapat diambil manfaatnya.

Terbentuknya forum nazhir di tiap Kankemenag kabupaten/kota merupakan faktor yang sangat sistemik sebagai regulator dan motivator lembaga-lembaga wakaf di tiap masing-masing. Salah satu upaya pemberdayaan wakaf produktif, Nazhir dapat melakukan terobosan dengan menjalin kerja sama atau kemitraan dengan pihak ketiga atau investor, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pola kemitraan tersebut tentu harus tetap memperhatikan seluruh ketentuan yang ada terkait dengan peraturan perundang-undangan wakaf. Hal tersebut dimaksudkan agar kekayaan wakaf dapat terjaga dengan baik dan dapat dikembangkan sesuai dengan tujuan dan peruntukan wakaf.

Obyek pemberdayaan tanah wakaf biasanya adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah gedung-gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar, dan acara lain. Selain itu dikembangkan pula pemberdayaan wakaf produktif pada bidang pertanian, pendirian usaha-usaha kecil seperti toko-toko ritel, koperasi, penggilingan padi, usaha bengkel dan lain sebagainya yang hasilnya untuk kepentingan pengembangan di bidang pendidikan, pondok pesantren.

Dalam konteks inilah, sangat penting apabila mengaitkan aktifitas pengembangan wakaf dengan istitusi lembaga wakaf. Peran nadzir di sebuah pesantren misalnya, sangat dibutuhkan. Seperti diketahui pesantren adalah lembaga sosial pendidikan masyarakat muslim yang mempunyai pola dan karakteristik pengelolaan yang khas dan lebih mengedepankan kemandirian. Pesantren sebagai lembaga sosial juga mempunyai visi yang mulia dalam rangka mencerahkan kehidupan keagamaan masyarakat luas dan mengembangkan kepribadian moderat untuk memberikan kerahmatan bagi lingkungannya.

Fundrising (menggalang sumber dana/daya) wakaf sendiri dimaknai sebagai kegiatan menghimpun dana sumber daya lainnya berbentuk wakaf dari masyarakat (perorangan, lembaga, perusahaan, maupun pemerintah) yang akan digunakan untuk membiayai program dan kegiatan operasional pesantren, madrasah, dan lain sebagainya sehingga akan tercapai visinya.

Strategi Fundrising

Strategi fundrising merupakan alat analisis untuk mengenali sumber pendanaan yang potensial, mengevaluasi kemampuan organisasi dalam memobilisasi sumber daya wakaf/zakat.

Pertama, identifikasi calon wakif/muzakki merupakan satu tahapan yang penting dalam penggalangan dana wakaf/zakat. Tentukan profil dari potensial wakif /muzakki yang akan digalangnya baik dari wakif/muzakki lama maupun yang baru.

Kedua, menentukan metode /cara yang tepat dalam menentukan keberhasilan dalam menghimpun daya/dana wakaf/zakat., seperti mengirim brosur, gift/souvenir, mengirim ucapan terima kasih atas dukungan selama ini, baik melalui telpon atau pelibatan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan.

a. Menggalang potensi dana

Metode atau teknik penggalangan dana wakaf/zakat yang dilakukan dengan menggalang atau memanfaatkan dana wakaf/zakat yang ada dalam masyarakat baik dari individu, lembaga/organisasi/perusahaan maupun dari pemerintah baik dalam maupun luar negeri, artinya menghasilkan wakif/muzakki baru atau yang masih lama. Nazir tinggal menggalang dengan menggunakan metode fundrising, seperti pendekatan personal, proposal, surat langsung, media komunikasi, kegiatan khusus atau yang lainnya. Prinsip fundrising adalah buktikan kemajuan orang akan menyokong, bukan sebaliknya minta sokongan untuk kemajuan.

b. Menciptakan dana baru

Salah satu strategi yang dijalankan nazir dalam fundrising adalah menciptakan sumber dana baru atau pendapatan usaha dari harta wakaf (earned income). Hal ini dilakukan dengan membangun unit usaha ekonomi produktif dari harta wakaf yang dapat menghasilkan pendapatan. Pengembangan pendapatan dilakukan melalui penjualan produk, pelayanan jasa profesional, penyewaan sarana, dan prasarana fasilitas, pengembangan dana abadi dan investasi dari harta-harta wakaf yang ada.

c. Kapitalisasi Sumber Daya Non Financial

Maksudnya adalah upaya penggalangan dana yang dilakukan dengan menggalang sumber daya non dana atau in-kind dalam bentuk barang, jasa atau keahlian dan tenaga. Tenaga umumnya dikelola dalam bentuk program kerelawanan atau volunter penggalanagan sumber wakaf. Dengan kondisi semacam ini, lembaga dengan sekian banyaknya stakeholders termasuk alumni dan masyarakat sekitar, sehingga perlu adanya strategi yang berbeda yang inovatif, yang tidak berorientasi pada wakaf dalam bentuk uang maupun harta benda bergerak.

Ketiga, dan merupakan bagian terakhir dari findrising adalah monitoring dan evaluasi, yaitu memantau bagaimana proses dari kegiatan findrising ini dilakukan sekaligus menilai efektifitasannya. Tahapan ini dilakukan untuk memastikan apakah ada masalah dalam pelaksanaannya, seberapa efektif upaya yang dilakukan, dan seberapa besar pencapaiannya terhadap target yang telah ditentukan.

Akhirnya, pengelolaan wakaf secara profesional ditandai dengan pemberdayaan potensi masyarakat secara produktif, yang meliputi beberapa aspek, diantaranya aspek manajemen, Nazhir Resources Development, pola kemitraan usaha, bahkan sampai kepada bentuk benda wakaf bergerak, seperti uang, saham dan surat berharga lainnya. Di samping pelibatan stakeholder tersebut, dukungan political will pemerintah tetap menjadi faktor utama.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam mengelola wakaf /zakat secara profesional, ada tiga filosofi dasar yang harus dijadikan acuan bagi nazhir/amil untuk memberdayakan secara produktif.

Pertama, pola manajemennya terbingkai dalam proyek yang terintegrasi, bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Dengan bingkai ini, dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya.

Kedua, asas kesejahteraan nazhir/amil. Image nazhir asal-asal (lillahi ta’ala) telah sekian lama menempel pada kerja wakaf ini, sehingga capaiannya pun asal-asalan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita memposisikan nazhir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik, dan memberikan kesejahteraan bukan saja di akhirat namun juga di dunia.

Ketiga, asas transparansi dan akuntabilitas, di mana badan wakaf/zakat dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan proses pengelolaan dana setiap tahun kepada publik dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya.

Semoga dengan semangat pemberdayaan wakaf produktif, para nazhir dapat melakukan akselerasi peningkatan kesejahteraan umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Djunaidi., Thobieb Al-Asyhar, Menuju Wakaf Produktif, Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Mitra Abadi Press, Jakarta, 2005.
Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, Jakarta, 2008
Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Pedoman Pembinaan Nazhir, Jakarta, 2008
Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kumpulan Hasil Seminar Perwakafan, Jakarta, 2004

A. Halim, Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren, dalam A. Halim et al., Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005)

Kim Klein, Fundrising for Special Change, Fourth Edition (Oakland California : Chardon Press, 2001)

Hamid Abidin, dkk., Membangun Kemandirian Perempuan (Jakarta:Piramedia, 2009)

 

[1] A. Halim, Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren, dalam A. Halim et al., Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 222

[2] Kim Klein, Fundrising for Special Change, Fourth Edition (Oakland California : Chardon Press, 2001), hlm. 5

[3] Hamid Abidin, dkk., Membangun Kemandirian Perempuan (Jakarta:Piramedia, 2009), hlm. 89

Jumat, 07 Mei 2010

Hidupkan Malam-mu dengan Ibadah


Sesungguhnya ibadah di waktu malam akan sangat membekas dan akan lebih teguh ucapannya Surat Al Muzzammil ayat 6.


Bagi sebagian besar orang ”malam” merupakan waktu untuk tidur dan beristirahat.
Mereka telah menarik diri dari pergaulan sosial dan pekerjaannya, lantas masuk ke dalam lapis kehidupan pribadinya yang sedikit banyak bersifat rahasia bagi orang lain. Jika seseorang tidak beristirahat di waktu malam, menandakan demikian pentingnya sesuatu itu atau besarnya tekad yang dipunyai Artinya apapun yang dilakukan seseorang di malam hari akan menegaskan urgensinya ataupun menegaskan warna dasar kepribadian orang tersebut, baik warna yang jahat maupun warna baiknya. Sebaliknya seseorang tanpa aktivitas signifikan di malam hari akan hanya biasa-biasa saja alias kehidupannya nyaris tanpa renungan mendalam tanpa sikap yang prinsipil tanpa tekad kuat dan tanpa penegasan warna kepribadiannya.


Al-Qurâan surat Al Muzzammil ayat 6 secara tegas menerangkan kelebihan waktu malam dibandingkan waktu yang lain. Secara kuantitatif, Al-Quran memberikan perhatian lebih dengan pemakaian kata al-lail atau malam hari beserta kata turunannya sebanyak 92 kali. Bisa dibandingkan pemakaian kata an-nahar atau siang sebanyak 57 kali pemakaian, kata as-subh berarti subuh sebanyak 45 kali, kata al-fajr yang berarti 24 kali, kata ad-dhuha berarti matahari sepenggal naik hanya sebanyak 7 kali dan kata al-˜ash atau asar hanya lima kali disebut dalam keseluruhan ayat Al-Qurâan. Konteksnya tentu saja berbeda-beda, namun bisa dipahami jika faktor kuantitas ini pun sejajar dan menyiratkan kualitasnya.

Malam memang lebih bersuasana perenungan, pendalaman dan spiritual. Wajar jika aktivitas seseorang di malam hari akan lebih berkesan tahan lama, berjiwa dan lebih signifikan dalam memberikan warna kepribadian dan jalan hidup seseorang. Lebih-lebih jika aktivitas peribadatan seperti shalat. Janji Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang menghidupkan malamnya dengan shalat tahajud dan amalan nafilah atau sunat lainnya adalah tempat terpuji. Demikian firman-Nya dalam Al-Qurâan surat Al Isra 79. Ikhwan & Akhwat, Imam Ghazali membagi waktu malam menjadi sepertiga untuk tidur, sepertiga untuk shalat dan sepertiga berikutnya untuk amalan wirid sesuai jalan hidup pilihan seseorang. Untuk mereka yang melewati jalan ilmu sepertiga malam sebagai amalan wirid ini diisi dengan kegiatan membaca dan menulis buku. Bagi alim ulama atau pun menyalin dan memahami ilmu yang ditekuni bagi para pelajarnya. Pasti akan berbeda kegiatan orang yang melewati jalur lain, seperti jalan-politik, jalan-dagang, jalan-budaya, jalan-jasa dan sebagainya. sahabat, sudahkah kita mengisi waktu malam-malam kita dengan beribadah ???

Minggu, 02 Mei 2010

Qadr : Khoir wa Syarr

Beruntunglah menjadi seorang muslim karena Allah SWT secara lengkap dan sempurna telah menyediakan panduan hidup terbaik dan contoh manusia terbaik yang dapat dijadikan model terbaik dalam menjalani kehidupan sementara di dunia ini dengan sebaik-baiknya, Allah berfirman dalam al Thiin : 4. Termasuk tentunya di sini bagaimana mensikapi dengan benar persoalan-persoalan hidup yang pasti akan kita temui, karena dengan persoalan-persoalan itulah sesungguhnya Allah SWT menguji sejauhmana meningkatkan kualitas ketaqwaan seseorang di sisi Allah SWT.


Taqdir baik dan buruk merupakan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT kepada setiap hambaNya. Sebagai contoh, kematian itu pasti akan datang menemui kita meskipun sangat mungkin kita merasa belum siap menghadapinya. Begitu juga bagaimana bentuk kehidupan kita setelah kematian—apakah mendapatkan kehidupan yang dicintai, diberkahi, dan diridhai Allah SWT atau sebaliknya—juga merupakan sebuah kepastian yang akan kita terima sebagai konsekuensi logis dari pilihan hidup yang dijalani selama diberi nafas kehidupan oleh Allah SWT. Menjalani kehidupan di dunia yang sangat-sangat singkat ini dibandingkan dengan kehidupan yang sesungguhnya di akhirat nanti dengan menjadi seorang muslim yang meniatkan seluruh kegiatan yang dipilihnya sebagai bentuk penghambaan kepada Allah SWT yang telah menganugerahinya begitu banyak nikmat sehingga dipastikan tidak akan mampu menghitungnya. Menjadi seorang muslim yang menjadikan kecintaan, keridhaan, dan perjumpaan denganNya sebagai tujuan hidupnya, menjadikan dunia sebagai batu loncatan untuk menggapai kesuksesan sejati di kehidupan akhirat yang sejati.

Demikian juga dengan kegembiran dan kesedihan, kesuksesan dan kegagalan, kemenangan dan kekalahan, sehat dan sakit, ketenangan dan kecemasan, siang dan malam, kehidupan dan kematian, merupakan sebagian kecil contoh yang menunjukkan bahwa Allah SWT telah menyatakan dengan tegas bahwa hidup ini sesungguhnya penuh dengan kepastian, bukan kemungkinan-kemungkinan. Bahwa kebaikan yang kita usahakan, sekecil apapun menurut penilaian kita pasti akan dibalas dengan kebaikan yang lebih banyak. Bahkan, ketika kita baru berniat akan melakukan kebaikan dan kita tidak jadi melakukannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Apalagi ketika kita berniat melakukan kebaikan dan kemudian kita jadi melakukannya, maka Allah SWT mencatat di sisiNya 10 kebaikan hingga 700 kali lipat bahkan sebanyak yang dikehendakiNya.

Tidaklah berlebihan bahwa menjadi seorang muslim pastilah menjadi orang paling berbahagia di muka bumi ini, karena apapun ketetapan Allah kepada hambaNya, kata Rasulullah SAW, semuanya pasti baik adanya. Sebagaimana diriwayatkan Muslim, dari Abi Yahya Shuhaib bin Sinan r.a, Rasulullah SAW bersabda”Sangat mengagumkan keadaan orang mukmin itu, sebab keadaan bagaimanpun baginya adalah baik dan tidak mungkin terjadi demikian, kecuali bagi orang mukmin saja. Jika mendapat nikmat ia bersyukur dan itu baik baginya; dan bila menderita kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya.”

Ibnu Qayyim Al Jauziyah r.a dalam bukunya Kemulian Syukur dan Keagungan Sabar mengingatkan kita untuk memahami konsep sabar secara menyeluruh. Sabar itu bukan hanya mampu menahan dirinya dari dorongan nafsu kemarahan (Hilm), tapi juga mampu menahan nafsu birahinya sehingga kemaluannya terjaga dari berbagai perbuatan terkutuk (‘Iffah), mampu menahan diri untuk tidak makan secara berlebihan atau secara terburu-buru (syara nafs/syaba’ nafs), dan mampu menahan diri untuk tidak senantiasa tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu (Waqar/Tsabat). Jangan mengaku sabar ketika kita masih suka membeberkan rahasia, suka mencari kambing hitam karena sabar itu adalah kitman sirr (mampu menahan diri untuk tidak mengatakan apa saja yang seharusnya tidak dikatakan), muru’ah (mampu menahan diri untuk tidak melemparkan hal-hal yang tidak disukai kepada orang lain), dan syaja’ah (mampu menahan diri untuk tidak lari dan kabur dari masalah yang dihadapi). Orang sabar itu, lanjut Ibnu Qayyim Al Jauziyah, zuhud/Qana’ah (mampu menjaga diri dari berbagai kelebihan dunia dan sanggup menyepelekannya; mengambil hanya sebagian kecil dari dunia untuk mencukupi kebutuhan, dermawan (mampu menahan diri untuk tidak pelit kepada orang lain), pemaaf/pemurah (mampu menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain, dan cerdik (mampu menahan diri untuk tidak berlaku malas dan ogah-ogahan dalam waktu yang seharusnya bergerak).

Maka, apapun yang ditetapkan Allah SWT kepada kita itu pasti baik adanya. Allah SWT tidak pernah memberi soal di luar kesanggupan kita untuk menyelesaikannya dan setiap soal itu pasti ada jawabannya. Jangan pernah terbersit sedikit pun dalam hati dan pikiran untuk berputus asa dari rahmat Allah SWT karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan dan sesudah kesulitan pasti ada kemudahan yang mengikutinya. Masihkah ada lagi alasan yang membuat kita terus menerus bersedih dan takut terhadap kehidupan dunia yang singkat, penuh permainan dan senda gurau ini?


H.A. Luthfi Samroni, S.Ag

Staf Garahazawa Kanwil Kementerian Agama

Provinsi Jawa Tengah

Optimis dalam Hidup & Perjuangan

Manusia cenderung memiliki ketahanan yang kecil, baik secara fisiologis maupun psikologis kecuali orang-orang yang memiliki tingkat keimanan yang stabil dan istiqomah. Terutama dalam kondisi seperti saat ini, begitu banyak kejadian, berupa musibah yang menimpa kaum muslimin., baik perseorangan maupun kelompok masyarakat. lihat saja, banyaknya rentetan musibah, mulai dari banjir, tanah longsor, kecelakaan lalulintas, pembunuhan, serta berbagai wabah penyakit.

Ini semua harus dihadapi dengan kekuatan iman kepada Allah, keyakinan atas takdir Allah. Semoga saja kejadian-kejadian tersebut, semakin memperkokoh keimanan kita kepada Allah. Setidak-tidaknya, berbagai kejadian itu menjadi pelajaran bagi kita semua. Inilah yang seharusnya menjadi pelajaran penting yang harus diambil dari berbagai peristiwa yang terjadi. Sebab, semuanya itu, terjadi atas kehendak dan sunnatullahNya. Meskipun begitu, hal itu tidak membawa kita menjadi orang yang atheis (tidak mengakui adanya Allah), yang tidak mengakui sebagai takdir Allah. Sebaliknya, kita harus meyakini betul, bahwa ini semua atas IradatNya.

Jika, keyakinan seperti ini kita miliki, maka akan menjadi modal utama untuk memperbaiki keadaan kita, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Meskipun saat ini, kita menyadari, bahwa kaum muslimin lemah dari berbagai sisi kehidupan, dari segi ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta politik. Bahkan dari segi akhlak kita juga sangat lemah, padahal dulu akhlak menjadi kekuatan kaum muslimin.

Dulu, kaum muslimin boleh lemah dari segi ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi, tidak pernah lemah dari segi akhlak. Pada waktu itu, kaum muslimin selalu tampil dengan akhlak terpuji. Ini berbanding terbalik dengan kondisi sekarang ini, kaum muslimin, hanya sedikit yang mempertahankan akhlak yang terpuji ini.

Terutama akhlak universal yang selama ini menjadi perhatian dunia, seperti; kejujuran, keadilan, yang dibutuhkan oleh semua manusia. Misalnya; saja Negara Jepang memiliki kejujuran yang hampir merata di semua masyarakatnya. Kerja keras, keadilan, kejujuran, serta amanah yang tinggi, menjadi akhlak sehari-hari mereka.

Padahal, semuanya itu milik kaum muslimin, sebab semuanya telah disebutkan, dan tidak ada yang luput dari ajaran Islam. Semuanya ada dalam ajaran Islam, ajaran yang hanif ini.

Namun terlepas dari semua itu, meskipun kita kaum muslimin mengalami kemunduran dan keterpurukan. Tapi kita harus yakin, bahwa keadaan itu pasti bisa berubah. Kita tidak boleh pesimis, bahkan kita harus optimis bahwa keadaan itu bisa berubah, kaum muslimin akan meraih kejayaannya kembali.

Ibda' binafsik

Untuk mencapai itu, umat Islam harus melakukan sunnatullah (sebab akibat), yang salah satunya disebutkan dalam Al Qur’an, yakni perubahan dalam diri kita. Allah berfirman: ”Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sampai dia merubah dirinya sendiri” (Q.S. Ar-Ra’d:12).

Berangkat dari ayat ini, dengan dilandasi oleh keyakinan, maka umat Islam bisa maju. Jika mereka bisa merubah apa yang ada dalam dirinya. Kalau umat Islam bisa memperbaiki dirinya sendiri, memperbaiki aqidahnya, akhlaknya, memperdalam ilmu agamanya. Yakinlah umat Islam bisa bangkit dan berjaya sebagai khairah ummah. Ini sunnatullah dari Allah.

Rumus yang harus diperhatikan
Selain itu, Allah juga masih memberi motivasi kita untuk bangkit lewat firmanNya; ”Wahai orang beriman, jika kamu menolong agama Allah, maka Allah akan menolong kamu”. (Q.S. Muhammad:7), Ini berbanding terbalik dengan orang kafir. Sebab, tidak ada satupun dalam Al Qur’an dan Hadits yang menegaskan bahwa Allah akan menolong orang kafir. Bila orang kafir eksis, itu atas Iradat Allah serta melalui hukum sebab akibat. Tapi bagi kita kaum muslimin, jika ingin berubah, akan mengalami percepatan perubahan sebab Allah akan senantiasa menolong kita.

Karena itu, Semua perjalanan Nabi dan Rasul, dimulai dari hal-hal yang mustahil, dalam waktu singkat, berubah menjadi hal-hal nyata, serta dapat eksis. Mengapa ini terjadi, tentu saja ini atas pertolongan Allah. “Adalah kewajiban Kami menolong orang-orang beriman. Jika orang-orang beriman mau ditolong oleh Allah, maka mereka harus bersungguh-sungguh memperlihatkan, bahwa mereka ingin ditolong Allah”.

Ini faktor kedua yang tidak boleh dilupakan oleh kaum muslimin. Mungkin di antara kita ada yang khawatir, buntu tidak mendapatkan jalan. Kita tidak perlu khawatir, tapi kita harus bersungguh-sungguh memulai upaya, dengan kerja keras niscaya Allah akan menunjukkan jalan-jalan tersebut. Keyakinan akan datangnya pertolongan dari Allah perlu kita pupuk dalam hati.

Bila kita baca dalam Al Qur’an dan Hadits, begitu banyak peristiwa yang menunjukkan hal ini. Pertolongan itu tidak hanya ditujukan pada Nabi dan RasulNya, tapi juga para sahabat, wali-wali, serta orang-orang shaleh. Ini menunjukkan, jika menolong agama Allah, akan mendapatkan pertolongan, di dunia, serta mendapat kebahagiaan di akhirat.

Sebagai contoh, kita akan mengangkat dua kisah. Kisah pertama sebagaimana diceritakan bahwa ada seseorang yang tersesat di dalam goa, tidak bisa keluar selama sepuluh hari. Nanti hari ke sepuluh orang tersebut ditemukan oleh anaknya. Setelah sampai di rumahnya, anak-anaknya bertanya; Bagaimana bisa hidup di dalam goa selama sepuluh hari? Padahal tidak ada makan dan tidak ada minum. Sang bapak lalu balik bertanya, apa yang kamu lakukan terhadap tetangga. Anak-anak itu lalu menjawab; kami memberi makan anak-anak yatim, kecuali kemarin karena kesibukan sehingga kami lupa. Bapaknya lalu berkata; saya telah menduga sebelumnya, karena selama sepuluh hari saya selalu mendapatkan susu disamping saya , tanpa saya tahu darimana asalnya, kecuali kemarin. Kisah di atas memberi pelajaran bahwa Allah akan menyelamatkan hambanya, ketika hamba suka menolong sesamanya.

Kisah kedua, seorang ibu yang ingin makan suatu makanan, ketika sudah siap dimasukkan dalam tubuhnya. Ternyata ada orang miskin yang lebih membutuhkan, maka si Ibu pun memberi makanan kepada orang miskin tersebut. Beberapa hari kemudian, anak ibu tersebut datang bercerita pada Ibunya. Bahwa beberapa hari yang lalu, dia mengalami peristiwa yang aneh, yang tidak tahu tafsirannya. Suatu hari Saya melewati hutan tiba-tiba seekor singa berhasil menangkap saya. Ketika berada ditangan singa dan akan diterkamnya. Tiba-tiba datang seorang yang memakai baju putih dan menyelamatkan saya dari genggaman singa. Lalu orang itu berkata; "satu suapan dengan satu suapan". Saya tidak tahu apa maksud orang tersebut.

Lalu Ibunya bertanya; kapan kejadiannya, ternyata waktunya sama dengan waktu Ibu memberi sesuap nasi pada orang miskin. Kedua kisah di atas, semakin memotivasi dan memberi keyakinan pada kita, bahwa sesungguhnya pertolongan Allah itu akan datang, jika seorang hamba menolong sesamanya dan agama Allah. Kalau saja menolong hamba Allah, Allah menolongnya. Apalagi menolong agama Allah, yang begitu banyak dalilnya dalam Al Qur’an dan Hadits.

Oleh karenanya itu, marilah kita merubah diri kita dan menolong agama Allah. Agar din Islam kembali jaya dan umat Islam mendapat kejayaannya. Semoga Allah memberi kesempatan kepada kita semua dalam memperjuangkan agamanya, serta kita tetap istiqamah di jalanNya.

Guru yang fenomenal, dahsyat dan mengesankan


Guru Yang Fenomenal, Dahsyat, dan Mengesankan

Kurang lebih 5 tahun aku bersamamu...diawali oleh perasaan percaya diri dengan kemampuan yang ada, aku mengawali cerita hidupku bekerja untuk orang lain. tak seperti sebelumnya, aku selalu bekerja untuk diriku sendiri, aku mengelola tenaga pikiran dan waktuku hanya untuk diriku dan keluargaku, istriku dan anakku. aku adalah pribadi yang supel dan bisa bergaul dengan siapapun, itu terbukti aku memiliki teman2 yang banyak di seluruh penjuru tanah air. aku berangkat dari pengalaman organisasi, dunia seni, bahkan tidak sedikit pergaulanku dengan kalangan kyai dan para habib...sehingga memupuk hatiku untuk bisa memahami karakter berbagai orang.

Tahun 2005 aku memasuki dunia birokrasi, meski kepercayaan diriku harus aku bayar dengan statusku saat itu. aku yang dulu harus menguburkan diri, karena statusku. hanya beberapa birokrat saja yang tahu siapa aku, itupun mereka yang suka berorganisasi. karena aku menjadi masyhur saat kreasiku diakui oleh produser sehingga karyaku dimiliki oleh banyak orang di negara ini. Namun ternyata semua itu masih belum seberapa dengan dunia yang aku geluti denganmu...harus cerdas, tanggap, reasonable, dan visioner.

Denganmu aku belajar semua itu.....dan darimu aku bisa belajar sabar...

Kamu adalah guru yang fenomenal, karena saat itu tak satupun pribadi yang aku kenal sepertimu. Kamu adalah guru yang mengesankan, karena tak satupun pribadi yang aku kenal yang memiliki semangat kerja tinggi selain dirimu. Dan kamu adalah guru yang dahsyat, karena quantum/lompatan/terobosanmu membuat semua orang tercengang.

Terima kasih atas semua...aku tak lagi berfikir soal statusku...biarlah orang memberiku status yang sama seperti waktu aku datang, yang terpenting adalah implementasikan yang aku punya dan terserah orang akan memberi aku status seperti apa yang mereka tahu tentang aku.

Doaku semoga kamu guruku selalu menjadi orang yang bermanfaat dengan segala keterbatasan sifat manusiamu...di manapun dirimu berada.